Trauma Bola Mata

Trauma Bola Mata

Oleh dr. Caesar Muhammad Wijaya & dr. Agus Setyawan, Sp. M

                                  Trauma bola mata atau dalam dunia medis disebut truama okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah. Dewasa muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas.

Data dari WHO Blindness Data Bank mencatat bahwa sekitar 55 juta cedera mata terjadi di seluruh dunia, sekitar 23 juta orang dengan setidaknya satu penglihatan yang buruk secara mendadak dan 750.000 rawat inap, 70 % Laki-laki menderita lebih banyak trauma mata dibandingkan perempuan, 95% trauma pada laki-laki disebabkan saat bekerja.

Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia (bahan asam dan basa).

Menurut klasifikasi BETT trauma okuli dibedakan menjadi closed globe dan open globe. Closed globe adalah trauma yang hanya menembus sebagian kornea, sedangkan open globe adalah trauma yang menembus seluruh kornea hingga masuk lebih dalam lagi. Selanjutnya closed globe injury dibedakan menjadi contusio dan lamellar laceration. Sedangkan open globe injury dibedakan menjadi rupture dan laceration yang dibedakan lagi menjadi penetrating, IOFB, dan perforating.

Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga bisa diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu:

  1. Trauma tumpul (contusio okuli) (non perforans)
  2. Trauma tajam (perforans)
  3. Trauma Radiasi: trauma radiasi sinar inframerah, Trauma radiasi sinar ultraviolet, Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi
  4. Trauma Kimia: Trauma asam, Trauma basa

Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu menimbulkan efek atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata.

PATOFISIOLOGI

Terdapat empat mekanisme yang menyebabkan terjadi trauma okuli yaitu coup, countercoup,equatorial, global reposititioning :

Coup adalah kekuatan yang disebabkan langsung oleh trauma. Countercoup merupakan gelombang getaran yang diberikan oleh cuop, dan diteruskan melalui okuler dan struktur orbita. Akibat dari trauma ini, bagian equator dari bola mata cenderung mengambang dan merubah arsitektur dari okuli normal. Pada akhirnya, bola mata akan kembali ke bentuk normalnya, akan tetapi hal ini tidak selalu seperti yang diharapkan.

Trauma mata yang sering adalah yang mengenai kornea dan permukaan luar bola mata (konjungtiva) yang disebabkan oleh benda asing. Meskipun demikian kebanyakan trauma ini adalah kecil, seperti penetrasi pada kornea dan pembetukan infeksi yang berasal dari terputusnya atau perlengketan pada kornea yang mana hal ini dapat menjadi serius. Benda asing dan aberasi di kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan sewaktu mata dan kelopak mata digerakkan. Defek epitel kornea dapat menimbulkan keruhan serupa. Fluoresens akan mewarnai membran basal epitel yang terpajan dan dapat memperjelas kebocoran cairan akibat luka tembus (uji Seidel positif).

Diagnosis Trauma Okuli

Untuk menegakkan diagnosis trauma okuli sama dengan penegakan diagnosis pada umumnya, yaitu dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau timbul mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah, atau ledakan.

Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah penurunan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3 hingga ½ kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata. Untuk itu perlu pemeriksaan neurologis dan sistemik mencakup tanda-tanda vital, status mental, fungsi, jantung dan paru serta ekstremitas. Selanjutnya pemeriksaan mata dapat dimulai dengan :

  1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik dan defek pupil aferen.
  2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk mencari defek pada tepi tulang orbita.
  3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi
  4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak
  5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan
  6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata yang lain)
  7. Oftalmoskop: menilai lensa, korpus vitreus, diskus optikus dan retina.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG mata, CT scan, hingga MRI. Pemeriksaan darah lengkap, status kardiologi, radiologi dapat ditambahkan jika akan dilakukan tindakan tertentu yang membutuhkan pemeriksaan penunjang tersebut.

Penatalaksanaan Trauma Okuli

Penatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam mengatasi kasus trauma okular adalah :

  1. Memperbaiki penglihatan.
  2. Mencegah terjadinya infeksi.
  3. Mempertahankan arsitektur mata.
  4. Mencegah sekuele jangka panjang.

Penanganan Trauma Oculus Non Perforans :

Setiap pasien trauma mata seharusnya mendapatkan pengobatan antitetanus toksoid untuk mencegah terjadinya infeksi tetanus dikemudian hari terutama trauma yang menyebabkan luka penetrasi. Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anastesi umum. Sebelum pembedahan jangan diberi obat siklopegik ataupun antibiotic topical karena kemungkinan toksisitas pada jaringan intraocular yang terpajan.

Berikan antibiotik sistemik spectrum luas dan upayakan memakai pelindung mata(bebat mata). Analgetik dan antiemetik diberikan sesuai kebutuhan, dengan retriksi makanan dan minum. Induksi anastesi umum dengan menggunakan obat-obat penghambat depolarisasi neuron muscular, karena dapat meningkatkan secara transient tekanan di dalam bola mata sehingga meningkatkan kecendrungan herniasi isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan anstetik umum yang bersifat singkat untuk memudahkan pemeriksaan. Pada trauma yang berat, seorang dokter harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan bola mata lengkap. Yang tak kalah pentingnya yaitu kesterilan bahan atau zat seperti anastetik topical, zat warna, dan obat lain maupun alat pemeriksaan yang diberikan ke mata.

Benda berbentuk partikel kecil harus dikeluarkan dari abrasi kelopak untuk mengurangi resiko pembentukan tato kulit. Laserasi palpebra yang superfisial hanya memerlukan jahitan pada kulit saja. Untuk mengelakkan terjadinya jaringan parut yang tidak diinginkan, perlu dilakukan debridement konservatif, menggunakan jahitan eversi yang berkaliber kecil dan membuka jahitan dengan cepat.

Sebagian dari trauma perforans sangat minimal sehingga ia sembuh dengan sendirinya tanpa ada kerusakan intraokuler, maupun prolaps. Kasus-kasus ini hanya memerlukan terapi antibiotik sistemik ataupun topikal dengan observasi yang ketat. (Edited by CGE)

 REFERENSI

  1. Négrel AD, Thylefors B. The global impact of eye injuries. Ophthalmic Epidemiol 1998; 5:143.
  2. Pandita A, Merriman M. Ocular trauma epidemiology: 10-year retrospective study. N Z Med J 2012; 125:61.
  3. Koo L, Kapadia MK, Singh RP, et al. Gender differences in etiology and outcome of open globe injuries. J Trauma 2005; 59:175.
  4. Baker RS, Wilson RM, Flowers CW Jr, et al. A population-based survey of hospitalized work-related ocular injury: diagnoses, cause of injury, resource utilization, and hospitalization outcome. Ophthalmic Epidemiol 1999; 6:159.
  5. Kanoff JM, Turalba AV, Andreoli MT, Andreoli CM. Characteristics and outcomes of work-related open globe injuries. Am J Ophthalmol 2010; 150:265.
  6. Zhang Y, Zhang M, Jiang C, Qiu HY. Intraocular foreign bodies in china: clinical characteristics, prognostic factors, and visual outcomes in 1,421 eyes. Am J Ophthalmol 2011; 152:66.
  7. Andreoli CM, Andreoli MT, Kloek CE, et al. Low rate of endophthalmitis in a large series of open globe injuries. Am J Ophthalmol 2009; 147:601.

 

 

 

Related Posts

Komentar