SINDROM TURP
SINDROM TURP
Arifah - Anestesi
Pendahuluan
Hiperplasia prostat jinak atau BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah sebuah diagnosis histologi yang merujuk kepada proliferasi jaringan epitel dan otot halus di dalam zona transisi prostatika. BPH sering menyebabkan disfungsi pada saluran kemih bagian bawah dan paling sering ditemukan pada laki-laki usia lanjut. Manajemen BPH diantaranya yaitu terapi konservatif (watchful waiting), medikamentosa, dan pembedahan. Salah satunya adalah tindakan Transurethral resection of prostate (TURP) yang merupakan prosedur baku dalam penatalaksanaan BPH yang disertai retensi urin akut berulang atau kronis. TURP memiliki efektivitas dalam perbaikan gejala BPH yang mencapai 90%, namun TURP juga mempunyai beberapa komplikasi, salah satunya sindrom TURP. Kejadian sindrom TURP sekitar 0,5-7% dengan mortality rate 0,2-0,8%. (Dewi et al., 2013; Sutanto, 2021).
Definisi dan Faktor Pemicu
Transurethral resection of the prostat syndrome (TURP-S), pertama kali dijelaskan oleh Creevy pada tahun 1947, yaitu suatu kondisi klinis yang ditandai dengan perubahan kardiosirkulasi dan neurologis sebagai akibat dari perubahan akut volume intravaskular dan konsentrasi zat terlarut plasma yang terjadi sebagai akibat dari absorpsi cairan irigasi yang berlebih (Hazarika, 2020).
Adapun beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya sindrom TURP, yaitu: Tinggi tempat cairan irgasi, tekanan vena, jumlah kehilangan darah, durasi operasi dan ukuran prostat. Jika tinggi tempat cairan irigasi melebihi tinggi yang direkomendasikan (60 cm), maka akan meningkatkan tekanan hidrostatik, sehingga menyebabkan penyerapan yang cepat sejumlah besar cairan irigasi. Jumlah darah yang hilang juga berperan dalam terjadinya sindrom TURP, semakin banyak darah yang hilang diperkirakan juga semakin banyak vena yang terbuka. Operasi TURP biasanya memakan waktu 30 hingga 60 menit. Semakin lama durasi operasi, semakin besar volume yang diserap. Selain itu, ukuran prostat lebih dari 50gram juga dapat meningkatkan risiko terjadinya sindrom TURP. Hal ini disebabkan semakin banyaknya sinus vena yang terbuka sehingga dapat meningkatkan absorbsi cairan (Lee et al., 2009; Smyth et al., 2015).
Patofisiologi
Sindrom TURP disebabkan oleh penyerapan cairan irigasi melalui saluran terbuka sinus vena prostat dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan hipervolemia, hiponatremia dan hiperglisinemia (jika menggunakan glisin) sehingga menyebabkan berbagai komplikasi. Sindrom TURP mempengaruhi banyak sistem dan patofisiologinya terkait dengan hipervolemia, perubahan konsentrasi zat terlarut plasma (hiponatremia, hipoosmolalitas, hiperglisinemia, hipokalsemia, hipoproteinemia, dan penurunan hematokrit), peran anestesi, hemolisis, dan adanya infeksi bakteri (Hazarika, 2020; Lee et al., 2009; Vijayan, 2011).
Tanda dan Gejala
Tanda pertama dari sindrom TURP adalah peningkatan tekanan darah secara bertahap atau tiba-tiba (umumnya antara 20 dan 60 mmHg) disertai dengan bradikardia (10-25 denyut/menit). Nyeri dada retrosternal adalah gejala awal lainnya (Hazarika, 2020). Secara umum gejala sindrom TURP dibagi menjadi tiga, yaitu sistem kardiopulmonal (hipertensi, takikardi, disritmia, distress respiratorik, hipotensi, bradikardi, sianosis, syok, hingga kematian), hemolitik dan ginjal (hiponatremi, anemia, hiperglisinemia, gagal ginjal akut, dan juga kematian), dan sistem saraf pusat (mual, muntah, kebutaan, gelisah, penurunan kesadaran, pupil tidak reaktif, hingga kematian) (Hazarika, 2020).
Tatalaksana
Penatalaksanaan sindrom TURP dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap awal dan akhir fase intraoperatif atau awal pasca operasi. Pada tahap pertama hal pertama yang harus segera dilakukan adalah menginformasikan operator, kemudian dapat diberikan injeksi furosemide IV 40-100 mg, dan meminimalkan absorpsi cairan. Pada tahap selanjutnya pasien dapat diberikan manitol, transfusi PRC, oksigenasi, saline hipertonik (3%) untuk koreksi hiponatremia, intubasi endotrakeal dan pemberian inotropic positif jika diperlukan, antikonvulsan, dan melakukan restriksi pemberian cairan IV (Hazarika, 2020).
Kesimpulan
Transurethral resection of the prostat syndrome (TURP-S) merupakan komplikasi tersering dalam prosedur TURP dan dapat menyebabkan kematian, sehingga pencegahan dan diagnosis dini sangatlah penting. Adapun tanda pertama adalah peningkatan tekanan darah secara bertahap atau tiba-tiba. Penatalaksanaan sindrom TURP dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap awal dan akhir fase intraoperatif atau awal pasca operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharyya S., Subrata B., Hirak B., Mandeep K.T., Suchismita M., Swarna M.H. 2015. Regional Anesthesia in Transurethral Resection of Prostate (TURP) Surgery: A Comparative Study Between Saddle Block and Subarachnoid Block. Saudi Journal of Anesthesia. Vol.9(3): 268-271.
Dewi S., Made G.W., Wayan S. 2013. Perbedaan Osmolalitas dan pH Darah pada Tindakan Transurethral Resection of Prostate (TURP) yang Diberikan Natrium Laktat Hipertonik 3 Ml/Kgbb dengan Natrium Klorida 0,9% 3 Ml/Kgbb. Jurnal Ilmiah Kedokteran. Vol.44(3): 157-163.
Hazarika P.C. 2020. TURP Syndrome – A Quick Review and Update. Indian Journal of Clinical Practice. Vol.31(3): 224-228.
Lee G.Y., Jong I.H., Hyun J.H. Severe Hypocalcemia Caused by Absorption of Sorbitol-Mannitol Solution during Hysteroscopy. J Korean Med Sci. Vol.24: 532-534.
Smyth S.M., Nikhil V., Shan G.M. 2009. Spinal Anesthesia Facilitates the Early Recognition of TUR Syndrome. Current Urology. Vol.9: 57-61.
Sutanto R.L. 2021. Hiperplasia Prostat Jinak: Manajemen Tatalaksana dan Pencegahan. JIMKI. Vol.8(3): 90-97.
Vijayan S. 2011. TURP Syndrome. Trends in Anaesthesia and Critical Care. Vol.1: 46-50.