RSUD Ajibarang Goes To School : Memasyarakatkan BHD di SMAN 1 Bumiayu
Ajibarang, Program Instalasi Diklat dan PSDM Goes To School untuk memasyarakatkan BHD di kalangan pelajar terus bergulir. Setelah sebelumnya bekerja sama dengan SMAN 2 Purwokerto maka kali ini dr Maela bersama rombongan instruktur BHD beranjangsana di SMAN 1 Bumiayu untuk melaksanakan pengenalan BHD bagi calon anggota Palang Merah Remaja (PMR). Acara ini merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Dasar PMR Wira SMAN 1 Bumiayu, yang dilaksanakan pada Sabtu, 7 Desember 2019 dengan peserta berjumlah 67 orang.
Dalam materi pertama, dr Igun Winarno, SpAn menyampaikan materi dasar BHD yaitu DRCAB. D(anger) artinya sebelum melakukan pertolongan kita harus amankan diri, korban dan lingkungan. dr Igun pun berpesan, bahwa prinsip ini sangat penting, jangan sampai kita berniat menolong tetapi malah menambah jumlah korban atau bahkan menjadi korban yang harus diselamatkan. Setelah yakin aman maka kita lakukan cek R(espon) dengan menepuk bahu dan memanggil korban. Jika ternyata korban tidak berespon maka wajib bagi orang yang menemukan untuk memanggil bantuan. “Call for Help” tidak hanya bertujuan semata-mata agar ada yang membantu saat melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP), tetapi juga untuk menghubungi petugas medis atau fasilitas kesehatan terdekat, dan yang paling penting agar ada saksi bahwa kita sedang melakukan bantuan hidup dasar karena bukan tidak mungkin jika tidak ada saksi maka niat baik menolong justeru dituduh sebagai pelaku kejahatan. Selanjutnya C(hest Compression), A(irway) dan Breathing dengan melaksanakan “High Quality CPR” yang meliputi perbanding kompresi : ventilasi (30 : 2), kecepatan (100 - 120 x/menit), kedalaman (5 - 6 cm), Recoil (pengembangan) dada sempurna, minimal interupsi dan hindari ventilasi berlebih.
Materi kedua diisi oleh dr Maela dengan materi tentang pembidaian, cara transfer (pemindahan) pasien yang aman serta mempraktekkan cara melepaskan helm pada korban kecelakaan kendaraan bermotor. Dalam materi ini diputarkan video tentang kematian salah satu atlet sepak bola dalam suatu pertandingan setelah terbentur pemain lain di sekitar kepala. Sang atlet yang awalnya sadar nampak mulai tidak sadar saat tim kesehatan membawanya keluar lapangan dengan menggunakan tandu tanpa melakukan imobilisasi di area leher dan kepala. Terlepas bahwa kematian merupakan takdir yang telah digariskan, ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bahwa ketika ada korban yang mengalami benturan di daerah leher atau kepala wajib dilakukan imobilisasi area cervikal untuk menghindari cedera yang lebih berat.
Ada yang seru saat sesi praktik berlangsung. Para peserta yang sebelumnya telah dibagikan balon berlatih bagaimana posisi kompresi yang benar dengan menggunakan balon sebagai pengganti manekin. Karena belum terbiasa melakukan kompresi, beberapa peserta mengaku capek dan pegal setelah beberapa saat melakukan kompresi balon. Meskipun demikian aura ceria dan semangat sangat tergambar di wajah adik-adik kita ini. Setelah mampu melakukan kompresi balon, peserta dibagi menjadi 4 kelompok dan berlatih prinsip DRCAB dengan instruktur. Di akhir sesi latihan, peserta diberikan bonus materi chocking atau penanganan pasien tersedak mengingat kejadian tersedak cukup sering terjadi dan dapat mengancam nyawa jika tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Kejadian henti jantung dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan terjadi pada siapa saja tanpa bisa kita hindari. Jika kejadian henti jantung terjadi pada pasien di rumah sakit dimana tersedia fasilitas pelayanan dan petugas medis yang berkompeten tentu hal ini tidak terlalu menjadi masalah besar. Tinggal telepon operator, aktifkan code blue, dan lakukan resusitasi sesuai algoritme yang sudah dipahami oleh seluruh karyawan RSUD Ajibarang. Namun bagaimana jika yang menemukan kasus henti jantung adalah seorang siswa, tidak ada petugas medis dengan lokasi jauh dari fasilitas kesehatan? Haruskah hanya pasrah menunggu korban menemui ajal? Atau berusaha memberikan pertolongan? Sebagai umat beragama wajar kiranya jika pilihan kedualah yang diambil. Ya, memberikan pertolongan agar minimal korban dapat bertahan sampai petugas kesehatan datang memberikan bantuan hidup lanjutan. Namun memberikan pertolongan tanpa dasar ilmu tentulah bukan hal yang bijak untuk dilakukan. Karena tanpa ilmu, niat baik kita untuk menolong mungkin justeru kitalah yang menjadi penyebab kematian korban. Yuk mari kita belajar BHD, karena semakin cepat high quality CPR dilaksanakan, maka semakin besar kemungkinan korban dapat tertolong. “Save a Heart, save a life”. Kamu sudah pernah belajar BHD di sekolah?
~yn~
galeri foto