Sepenggal Kisah Veron Si Pejuang Kecil
(sebuah kisah seorang ibu yang begitu senang bisa kembali mendengar tangis dan memeluk buah hati kesayangannya setelah mendapatkan perawatan lama di ICU Pediatrik dan Perinatologi RSUD Ajibarang, kisah ini ditulis setelah mendapatkan ijin dari orang tua)
Waktu itu di hari Jumat, 18 Mei 2018 menjadi hari yang ditunggu-tunggu dan merupakan hari yang sangat membahagiakan untukku dan suamiku. Bayi yang kukandung selama 9 bulan dan kutunggu-tunggu kehadirannya akhirnya lahir ke dunia ini. Air mata bahagia tak mampu kubendung ketika bidan mengatakan bayiku berjenis kelamin laki-laki, sudah terbayang betapa indahnya hari-hari kami bertiga nantinya.
Namun tangis bahagiaku rupanya harus berbalik 180 derajat ketika aku sadari tak ada tangis bayi yang kudengar. Yang aku tahu bayi yang baru lahir seharusnya menangis sebagai tanda bahwa dia sehat. Tapi mana suara bayiku? Mana suara bayiku ? Tak terasa tetes air mata ini mengalir pelan membuat hangat di pipiku. Pandanganku nanar mencari bayi kecilku, dan di sana akhirnya aku melihatnya. Aliran tetesan air mataku semakin membuat hangat kembali pipiku dan ku hanya bertaya, Ya Rabb ada apa dengan bayiku ? Kenapa kulitnya membiru, bukankah bayi seharusnya kulitnya kemerahan? Dan apa yang sedang bidan itu lakukan? Ribuan pertanyaan dalam benakku akhirnya terjawab saat bidan mengatakan anakku tidak bernafas dan harus segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan lebih lanjut. Dunia seakan runtuh menimpaku, aku sedih dan takut, takut kehilangan bayiku bahkan sebelum aku sempat menggendongnya. Ya Rabb, engkau yang maha kuasa atas segala sesuatu dan engkaulah pelindung yang terkuat didunia in, lindungi dan kuatkanlah anakku Ya Rab.
Dengan iringan tatapan dan aliran air mata ini mereka membawa buah kecilku ke RSUD Ajibarang, tanpa sertaku seorang ibu yang belum sempat menggendong dan memeluknya, karena akupun harus menjalani perawatan setelah melahirkan dia diduania ini. Yaa Rabb...selamatkan anakku Ya Allah.. Ijinkan aku menimangnya walaupun hanya sesaat.
Singkat cerita anakku harus menjalani perawatan di ruang ICU anak-anak untuk mendapatkaan perawatan selanjutnya. Meskipun dia sudah bisa bernafas ternyata anakku masih harus membutuhkan alat bantu agar dia bisa tetap berharap untuk dipeluk ibunya. Anakku harus dipasang ventilator, alat yang namanya saja baru pernah kudengar. Tidak terbayang seperti apa bentuknya, bagaimana memasangnya.
Setelah kondisiku pulih, aku bertekad bertemu anakku. Tapi perawat di ICU melarangku, “Mohon maaf ibu saat ini belum jam besuk, jam besuknya baru jam 11 nanti”, “Tapi saya ibunya, Suster, saya ingin melihat anak saya”, kataku. “Bu, anak ibu kondisinya belum stabil, lagipula daya tahan tubuhnya masih sangat rendah, kalau kami perbolehkan dia dikunjungi setiap saat nanti kasihan anak ibu” Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini, bahkan untuk melihat anakku pun aku tak boleh. Waktu begitu lama berlalu, sampai akhirnya jam besukpun tiba. Jantungku berdebar begitu kencang saat memasuki ruang perawatan. Dan kemudian aku melihatnya, anaku terkulai lemah di bawah alat yang sepertinya penghangat. Air mata ini tak kuasa kubendung saat aku liat selang-selang yang terpasang. Selang infus, selang makan, dan selang untuk bernafas yg dihubungkan ke sebuah alat yang terdengar seperti sedang bernafas. Mungkin inilah yang disebut ventilator itu. Aku menangis lirih, aku membayangkan betapa sakitnya saat mereka memasang selang-selang itu tapi aku mencoba tegar, demi buah hatiku. “Kamu harus tegar Venny”, kataku dalam hati. Perawat jaga menjelaskan kondisi anakku, kenapa ia dirawat di ruang ICU, alat apa saja yang terpasang, termasuk kenapa mereka membatasi pengunjung. Terus terang saja saat itu aku tidak paham apa yang mereka katakan, yang ada dalam pikiranku hanyalah anakku, anakku, dan anakku.
Hari yang kulalui kemudian benar-benar terasa lama. Kadang aku berpikir apakah Tuhan menghentikan waktu sehingga hari berlalu dengan begitu lambat tapi kemudian aku sadar, aku harus bersemangat demi malaikat kecilku. Mereka, ya para perawat yang menjaga anakku, mereka selalu mensupportku, “Ibu harus semangat biar asinya lancar, kalau Ibu sedih kasihan dedeknya”, begitu yang selalu mereka katakan.
Begitu banyak yang terjadi setelah itu. Kondisi anakku naik turun, hari ini dia membaik besoknya drop bahkan sempat kejang dan setelah itu tidak berespon. Sempat ditransfusi yang kata perawat itu adalah trombosit, perutnya membesar dan tidak bisa menyerap ASI yang diberikan lewat sonde, demam dan ah entah berapa kali ia disuntik dan diambil darahnya untuk pemeriksaan. Aku hampir putus asa saat dr Garata, SpA dokter yang merawatnya mengatakan bahwa kondisi anakku sangat kompleks, sudah segala upaya mereka lakukan tapi belum ada perkembangan berarti bahkan cenderung menurun, harapan hidupnya hanya tinggal 50%. Begitupun dr Zainal, SpAn mengatakan hal yang sama dan memintaku mendoakan untuk kebaikan Veron, ya Veron Arya Saputra kami memberinya nama. Ya Allah kalau boleh aku menukarnya dengan nyawaku, biar aku saja yang sakit tapi sehatkanlah anakku ya Allah.. Saat itu aku hanya bisa berdoa, mengharap mukjizat dari Yang Kuasa, karena mungkin hanya mukjizatlah yang bisa menyembuhkan Veron.
Di sisi lain, aku sangat salut pada ketulusan perawat-perawat ICU, mereka dengan penuh kasih sayang merawat Veron, padahal Veron bukan anak mereka, bukan keluarga mereka. Saat mengganti popok atau memberi ASI mereka mengajak Veron bercanda, mengajakku ngobrol sehingga aku lupa untuk sejenak akan kesedihanku. Kadang aku melihat mereka menegur pengunjung yang ngotot keluar masuk di luar jam besuk atau masuk beramai-ramai, tapi sekarang aku tahu kenapa mereka melakukannya, semua demi agar pasien bisa beristirahat sehingga penyembuhannya lebih cepat.
Menjelang lebaran aku kembali down, Veron belum ada tanda-tanda diperbolehkan pulang setelah 30 hari perawatan di sini meskipun kata perawat kondisinya semakin membaik. Sepertinya lebaran kali ini harus kuhabiskan di rumah sakit. Sedih dan kecewa karena tidak bisa berkumpul dengan keluarga itu pasti, tapi sudahlah saat ini yang terpenting adalah kesembuhan Veron.
Tanggal 19 Juni akhirnya dr Garata, SpA menyatakan kondisi Veron stabil dan mengijinkannya pindah ke ruang Perinatologi. Senang rasanya, karena artinya selangkah lagi Veron akan diijinkan pulang, tapi sedih karena harus berpisah dengan perawat-perawat dan dokter yang selama sebulan lebihdengan tulus merawat Veron. Mereka berpesan padaku agar menjaga Veron dengan baik, jangan sampai terjadi hal buruk pada Veron. Aah, begitu sayangnya mereka pada Veronku, aku tidak bisa membalas kebaikan mereka, hanya ucapan terima kasih yang tulus, serta doa untuk kesuksesan mereka
Tanggal 27 Juni 2018, 9 hari setelah dirawat di ruang Perina, Veron diperbolehkan pulang. Alhamdulillah ya Allah, setelah perjalanan yang begitu panjang Engkau berikan mukjizat kesehatan untuk malaikat kecilku. Dan sekarang Veronku berumur 3 bulan dengan berat 3,5 kg, lelaki kecilku yang hebat, sehat selalu ya Nak, jadilah anak yang sholeh kebanggaan mama papa. Kelak jika engkau besar kita berkunjung lagi ke RSUD Ajibarang ya nak, bukan..tentu saja bukan datang sebagai pasien, tapi kita kunjungi sahabat-sahabat kita, dokter dan perawat yang merawat dan menemani hari-harimu dulu. Inilah sepenggal cerita tulus yang kudengar dengan setia menemani ibunya Veron.
By Yn