IN HOUSE TRAINING KOMUNIKASI EFEKTIF II GELOMBANG II
AJIBARANG – Mendekati proses survai akreditasi Lars DHP, RSUD AJIBARANG mulai berbenah dengan melakukan Refres akreditasi. Salah satunya dengan melakukan In House Training Komunikasi Efektif GELOMBANG KE-2 yang bekerja sama dengan Tim Akreditasi dengan Instalasi Diklat dan PSDM.
Acara ini dilaksanakan di Aula Diklat Lantai 2 RSUD Ajibarang. Acara gelombang kedua dilaksanakan pada hari Sabtu, 16 juli 2022 pukul 07.30-14.00 WIB dengan peserta seluruh manajemen dan perwakilan instalasi dan Ruangan.
Dr Noegroho Harbani, M.Sc. Sp.S sebagai Direktur RSUD Ajibarang mengucapkan terima kasih kepada Panitia IHT Komunikasi efektif bekerjasama dengan Tim Akreditasi dan Instalasi Diklat PSDM. Semoa acaranya bermanfaat dan komunikasinya dapat berjalan dengan lancar.
"Mari kita ikuti acara ini dengan baik karena dalam melakukan Komunikasi yang baik maka pesan akan tersampaikan dengan baik dan keselamatan pasien dapat terjaga" Pungkasnya.
Dr Igun Winarno Sp.An selaku pembicara dalam Komunikasi efektif ini menjelaskan berbagai materi yang terdiri dari berkomunikasi efektif di Pelayanan Kesehatan, berkomunikasi efektif dengan Masyarakat, berkomunikasi efektif antar Profesional Pemberi Asuhan, berkomunikasi efektif saat edukasi pasien, komunikasi efektif saat Asesmen, berkomunikasi efektif saat Handover, komunikasi efektif saat Treatment.
Rumah sakit sebagai tempat berbagai kalangan dan profesi berkumpul, berkumpulnya mereka bisa karena pekerjaannya sebagai profesional di rumah sakit atau karena keadaan kesehatannya yang menyebabkan dia dirawat di rumah sakit. Kondisi yang kompleks, dari sisi latar belakang pendidikan, budaya, agama, bahasa sangat bervariasi, kondisi ini memerlukan kolaborasi membangun tata cara komunikasi yang efektif untuk bisa menyampaikan pesan antar pasien dengan petugas, pasien dengan dokter atau antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) dengan baik.
Setiap pasien dan keluarga mempunyai keunikan tersendiri, sehingga semua PPA harus bisa membangun kepercayaan dan komunikasi yang terbuka agar bisa memberikan hasil yang efektif. Salah dalam berkomunikasi akan memberikan efek menurunnya mutu pelayanan dan membahayakan bagi keselamatan pasien.
Rumah sakit juga memerlukan pengakuan melalui akreditasi sebagai unit pelayanan yang bermutu dan menjaga budaya keselamatan pasien. Apalagi akreditasi adalah amanah undang-undanf. Sehingga kegiatan untuk membentuk budaya mutu dan keselamatan pasien (TKRS) bisa dilakukan, salah satunya dengan menjaga budaya komunikasi yang efektif. Hal ini terlihat dalam standart Komunikasi dan edukasi (KE) bahwa semua PPA harus mempunyai kemampuan memberikan edukasi secara efektif. Kemampuan ini harus dibuktikan bahwa PPA pernah menerima pelatihan dan terampil dalam melaksanakan komunikasi yang efektif.
Dr. Baiq Arnani Vandari selaku pembicara kedua mengatakan bahwa Banyak para ahli mendefinisikan tentang komunikasi, diantaranya disebutkan bahwa komunikasi adalah proses individu mengirim stimulus yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Sedangkan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Komunikasi efektif adalah komunikasii yang mampu menghasilkan perubahan sikap pada orang yang terlibat dalarn komunikasi.
“Komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu pesan dengan cara yang mudah sehingga orang lain dapat mengerti dan menerima maksud dan tujuan pemberi pesan”, tambahnya.
Komunikasi di rumah sakit memegang peranan penting dalam menjaga kualitas mutu dan keselamatan pasien. Rumah sakit harus bisa membangun kualitas komunikasi internal antar multidisplin dengan baik, yaitu dokter, perawat, unsur penunjang pelayanan, administrasi dan manajemen, dan juga komunikasi konsumen eksternal melibatkan unsur masyarakat sebagai pelanggan atau penerima layanan. Komunikasi yang buruk sering menjadi penyebab timbulnya konflik antara rumah sakit dengan masyarakt ataupun antar unsur didalam rumah sakit.
Komunikasi yang paling banyak memiliki potensi terjadinya kesalahan adalah pelaporan pasien, pemberian instruksi secara lisan atau melalui telpon, pelaporan hasil kritis dan saat serah terima. Kadang faktor lingkinganyang bising dengan gangguan suara, kualitas alat komunikasi, pemahaman materi yang dilaporkan atau dikomunikasikan, nama obat yang mirip dan istilah yang tidak umum sering kali menjadi masalah.
Tulisan ini akan mengulas bagaimana kita bisa mempelajari berbagai tingkatan komunikasi efektif untuk menjaga kualitas mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan tujuan.
Komunikasi Efektif dan Standar Akreditasi Rumah Sakit
Komunikasi yang efektif memegang peranan yang penting dalam menjaga kualitas mutu pelayanan dan keselamatan pasien, sehingga dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit masuk dalam beberapa kelompok standar penilaian. Menurut penulis diantaranya masuk dalam Tata Klola Rumah Sakit (TKRS), Komunikasi dan Edukasi (KE), Pengkajian Pasien (PP), Akses dan Kesinambungan Pelayanan (AKP), Sasaran Keselamatan Pasien (SKP), Standar Akreditasi Rumah Sakit di dalam standar SKP 2 mendefinisan Komunikasi efektif adalah komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh resipien/penerima pesan sehingga akan mengurangi potensi terjadinya kesalahan serta meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi dapat dilakukan secara lisan, tertulis dan elektronik
Rumah sakit juga memerlukan pengakuan melalui akreditasi sebagai unit pelayanan yang bermutu dan menjaga budaya keselamatan pasien. Salah satu penilaian adalah bagaimana rumah sakit bisa membangun komunikasi dengan baik dan efektif. Kondisi ini memaksa pimpinan rumah sakit harus menerapkan, memantau dan mengambil tindakan serta mendukung Budaya Keselamatan di seluruh area rumah sakit (TKRS 13) yaitu perilaku memberikan pelayanan yang aman secara konsisten untuk mencegah terjadinya kesalahan pada pelayanan berisiko tinggi. Membangun komunikasi yang baik antar staf sehingga tidak menyalahkan (Balming culture), membangun perilaku yang adil (just culture) setiap ada permasalahan.
Interaksi antara pasien dengan Profesional Pemberi Asuhan (PPA) itu sebuah kepastian, dalam pengkajian pasien (PP) melalui asemen awal pasien, reasesmen, mengharuskan PPA yang berkompeten, salah satunya kompeten dalam berkomunikasi secara efekfif sehingga semua PPA harus sudah terpapar pelatihan yang terkait dengan komunikasi efektif. PPA juga harus mempunyai kemampuan memberikan edukasi dalam setiap kesempatan. Dalam pengkajian awal (PP 1), merencakan pasien pulang (PP.1.d), serta dalam sistem pelaporan angka kritis (PP 3.6) yang masuk dalam indikator mutu nasional (INM) agar bisa berjalan dengan baik semua harus menguasai kemampuan berkomunikasi secara efektif.
Proses skrining pasien baik dari luar rumah sakit yang akan dirujuk, mapun yang akan dirujuk ke rumah sakit rujukan juga memerlukan komunikasi efektif yang baik, hal ini tertuang dalam Akses dan kesinambungan pelayanan (AKP 1), kebutuhan informasi pada saat terjadi penundaan atau keterlambatan pasien juga mengharuskan seorang petugas menguasai kemampuan dalam komunikasi efektif terkait problem solving (AKP 1.3), dalam standar penilaian AKP 3 diantaranya mengharuskan seorang manajer pelayanan pasien (MPP) mampu untuk membangun komunikasi, menjembatani hubungan antara pasien dengan dokter, kerja sama yang kolaboratif antar PPA, berbagai tingkat asesmen, kemampuan edukasi dan advokasi mengharusnya semuanya mempunyai komunikasi yang efektif dalam berkoordinasi. Transfer antar unit atau transfer intra hospital (TIH) (AKP 4) juga sangat terkait dengan komunikasi efektif. Kemampuan edukasi dan bukti edukasi pemberian pelayanan yang belum lengkap juga dituntut ada didalam AKP 5.2
Standar Hak Pasien dan Keluarga (HPK) sangat jelas menuntut elemen di dalam ruamah sakit harus mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi efektif, terkait penyampaian informasi hak-hak pasien yang harus dipenuhi oleh rumah sakit, diantara : edukasi yang efektif oleh mereka yang bisa dimengerti baik dari sisi budaya, bahasa, maupun agama, penyertaan pasien dan keluarga dalam setiap pelayanan di rumah sakit, kemampuan dalam menanggapi keluhan dan komplain,
Pada sasaran keselamatan pasien (SKP) standar SKP 2 dikatakan bahwa rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan efektivitas komunikasi lisan dan/atau telepon di antara para profesional pemberi asuhan (PPA), proses pelaporan hasil kritis pada pemeriksaan diagnostic termasuk POCT dan proses komunikasi saat serah terima (hand over) .
Semua kondisi ini terlihat dalam standart Komunikasi dan edukasi (KE-7) bahwa semua Profesional Pemberi Asuhan (PPA) harus mempunyai kemampuan memberikan edukasi secara efektif. Kondisi ini harus dibuktikan bahwa PPA pernah menerima pelatihan dan terampil dalam melaksanakan komunikasi yang efektif.
Prinsip Berkomunikasi Efektif
Setelah kita memahami betapa pentingnya kita berkomunikasi secara efektif, berikut hal-hal yang mendasari untuk terjadinya komunikasi secara efektif :
- Kemampuan berbicara dengan baik, dengan penyusunan dan pemilihan kosa kata sesuai dengan lawan bicara, bentuk komunikasi secara terbuka, intonasi yang tepat, gerak tubuh (body language)yang baik, kemampuan untuk mendengar, tidak memotong kalimat, melakukan klarifikasi atau melakukan umpan balik.
- Hukum dalam komunikasi efektif sering disingkat REACH yang berarti merengkuh atau meraih, karena sesungguhnya komunikasi itu pada dasarnya adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain. R (Respect) yaitu menghargai setiap individu lawan bicara kita, E (Empathy) yaitu kemampuan bisa menempatkan diri sendiri pada kondisi lawan bicara, A (Audible) yaitu dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik, C (Clarity) yaitu kejelasan pesan yang tidak menimbulkan makna ganda atau multiinterpretasi, H (humble) yaitu sikap yang rendah hati, sebuah sikap yang mau untuk melayani, sikap tidak sombong, sikap menghargai, menerima kritik, tidak memandang rendah lawan.
- Komunikasi yang dijalankan hendaknya juga didasari waktu yang tepat, lengkap, akurat dan jelas serta mudah dipahami oleh penerima pesan.
Komunikasi Efektif Antar PPA
Dijelaskan secara gamblang di dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit Satanr SKP 2 bahwa di rumah sakit banyak jenis profesi yaitu medik (dokter umum, dokter spesialis), keperawatan (perawat klinik, bidan) dan profesi lainnya (farmasi, analis, radiografer, dll.) yang memilki kebiasaan dan latar belakang masing-masing profesinya. Namun untuk bekerja dalam melayani kebutuhan pasien dengan prinsip "patient centre care", masing-masing profesi tidak bisa bekerja sendiri sendiri, tetapi harus berkolaborasi dalam sebuah tim yang solid, kompak, serta mampu bekerjasama. Kondisi ini memicu diantara PPA harus mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif. Bentuk komunikasi yang ada diantaranya :
1. Instruksi malalui telepon
Komunikasi ini sering dilakukan antara dokter jaga dengan DPJP, perawat ke dokter/DPJP, atau antar DPJP. Komunikasi dengan telepon harus mengikuti kaidah “menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi kembali” kembali” (writedown, read back, confirmation) kepada pemberi instruksi misalnya kepada DPJP. Konfirmasi harus dilakukan saat itu juga melalui telpon untuk menanyakan apakah “yang dibacakan” sudah sesuai dengan instruksi yang diberikan.
Sedangkan metode komunikasi saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP dapat menggunakan metode misalnya Situation -background - assessment - recommendation (SBAR).
2.Komunikasi saat melaporkan nilai kritis pemeriksaan diagnostik melalui telpon juga dapat dengan: “menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi kembali” (writedown, read back). Hasil kritis didefinisikan sebagai varian dari rentang normal yang menunjukkan adanya kondisi patofisiologis yang berisiko tinggi atau mengancam nyawa, yang dianggap gawat atau darurat, dan mungkin memerlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kejadian yang tidak diinginkan.
Hasil kritis dapat dijumpai pada pemeriksaan pasien rawat jalan maupun rawat inap. Rumah sakit menentukan mekanisme pelaporan hasil kritis di rawat jalan dan rawat inap. Pemeriksaan diagnostik mencakup semua pemeriksaan seperti laboratorium, pencitraan/radiologi, diagnostik jantung juga pada hasil pemeriksaan yang dilakukan di tempat tidur pasien (pointof-care testing (POCT). Pada pasien rawat inap pelaporan hasil kritis dapat dilaporkan melalui perawat yang akan meneruskan laporan kepada DPJP yang meminta pemeriksaan. Rentang waktu pelaporan hasil kritis ditentukan kurang dari 30 menit sejak hasil di verifikasi oleh PPA yang berwenang di unit pemeriksaan penunjang diagnostik.
3. Komunikasi saat serah terima (handover), misalnya serah terima antar ruangan di rawat inap, rajal, ke unit penunjang, ke IBS atau ICU. Jenis serah terima (handover) di dalam rumah sakit dapat mencakup:
- antara PPA (misalnya, antar dokter, dari dokter ke perawat, antar perawat, dan seterusnya);
- antara unit perawatan yang berbeda di dalam rumah sakit (misalnya saat pasien dipindahkan dari ruang perawatan - intensif ke ruang perawatan atau dari instalasi gawat darurat ke ruang operasi);
- dari ruang perawatan pasien ke unit layanan diagnostik seperti radiologi atau fisioterapi.
- Formulir serah terima antara PPA, tidak perlu dimasukkan ke dalam rekam medis. Namun demikian, rumah sakit harus memastikan bahwa proses serah terima telah dilakukan. misalnya PPA mencatat serah terima telah dilakukan dan kepada siapa tanggung jawab pelayanan diserahterimakan, kemudian dapat dibubuhkan tanda tangan, tanggal dan waktu pencatatan).
Strategi Penerapan SBAR:
Kelompok profesional perlu bekerja sama untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, melakukan tindakan kolektif terhadap kebutuhan perawatan pasien, dan memberikan kualitas pelayanan yang terbaik (WHO, 2010). The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations menyatakan bahwa kesalahan dalam komunikasi dapat menyebabkan 60% hingga 70% kematian pasien. Kesalahan dalam komunikasi muncul ketika informasi penting pasien ada yang keliru, hilang, dan salah tafsir (Murphy & Dunn, 2010).
Kolaborasi interprofesional antara PPA merupakan suatu keharusan, karena antara PPA dalam pelayanan kesehatan memiliki latar belakang pendidikan berbeda. Bentuk kolaborasi interprofesional, diantaranya kerja sama tim, komunikasi, dan kepastian agar perawatan yang diberikan dalam kondisi optimal.
Keselamatan pasien adalah topik penting dalam standar akreditasi rumah sakit. Meningkatkan komunikasi yang efektif termasuk ke dalam sasaran keselamatan pasien. Metode komunikasi SBAR yang terdiri dari Situation, Background, Assessment, dan Recommendation merupakan kerangka komunikasi efektif yang menjadi elemen penilaian di SKP 2 Standar Akreditasi Rumah Sakit 2022.. Situation menggambarkan keadaan situasi yang terjadi seperti yang dialami pasien saat ini, keluhan utama pasien, dan mengapa perawat menghubungi dokter. Background membahas tentang apa yang melatarbelakangi kondisi pasien, tanda-tanda vital dan riwayat penyakit, kondisi yang akan datang, dan keadaan yang mengarah pada kondisi tersebut. Assessment merupakan hasil pengkajian pasien dan kemungkinan masalah yang akan dihadapi pasien. Recommendation yaitu mengusulkan tindakan yang harus dilakukan terkait kondisi pasien saat ini (Pope, Rodzen, & Spross, 2008).
Ekspektasi :
Komunikasi yang efektif ini akan membuat para Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang bekerjasama akan mampu mendeteksi masalah kesehatan lebih awal, meningkatkan akurasi diagnosis, mencegah krisis medis dan intervensi yang mahal, serta menghindari long stay perawatan. Selain itu juga dapat meningkatkan pengetahuan pasien terhadap masalah kesehatannya, juga meningkatkan kepatuhan pasien terhadap proses terapi dan pencegahan penyakit.
Komunikasi yang efektif antar profesi pemberi asuhan, akan sangat membantu peran integrasi dan coordinative care pada para pasien. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kepuasan pasien, penggunaan sumber dana kesehatan yang cost effective, mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien, meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan image pelayanan dan menurunkan kemungkinan tuduhan pelayanan yang kurang baik.
Komunikasi efektif dalam Asesmen Pasien dan Treatmen
Asesmen pasien mempunyai tujuan untuk mengkaji pasien dan menentukan perawatan, pengobatan dan pelayanan yang akan memenuhi kebutuhan awal dan kebutuhan berkelanjutan pasien. Membangun kepercayaan dan menggali data yang benar melalui tata cara komunikasi yang efektif dengan menganut prinsip-prinsip berkomunikasi sangat menentukan kualitas mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Interaksi antara dokter maupun PPA yang lain dengan pasien dan keluarga sangatlah menentukan. (SARS 2022 PP). Pengkajian ini meliputi :
- Mengumpulkan informasi dan data terkait keadaan fisik, psikologis, status sosial, dan riwayat kesehatan pasien.
- Menganalisis data dan informasi, termasuk hasil pemeriksaan laboratorium, pencitraan diagnostik, dan pemantauan fisiologis, untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien akan layanan kesehatan.
- Membuat rencana perawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien yang telah teridentifikasi.
- Mengkomunikasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga, dimana asuhan pasien di rumah sakit diberikan dan dilaksanakan berdasarkan konsep pelayanan berfokus pada pasien (Patient/Person Centered Care)
Komunikasi efektif dengan Masyarakat dan Edukasi
Perawatan pasien di rumah sakit merupakan pelayanan yang kompleks dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan serta pasien dan keluarga. Keadaan tersebut memerlukan komunikasi yang efektif, baik antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) maupun antara Profesional Pemberi Asuhan (PPA) dengan pasien dan keluarga. Setiap pasien memiliki keunikan dalam hal kebutuhan, nilai dan keyakinan. Rumah sakit harus membangun kepercayaan dan komunikasi terbuka dengan pasien. Komunikasi dan edukasi yang efektif akan membantu pasien untuk memahami dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengobatan yang dijalaninya. Keberhasilan pengobatan dapat ditingkatkan jika pasien dan keluarga diberi informasi yang dibutuhkan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta proses yang sesuai dengan harapan mereka. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) berkolaborasi untuk memberikan edukasi.
Edukasi yang efektif menggunakan berbagai format yang sesuai sehingga dapat dipahami dengan baik oleh pasien dan keluarga, misalnya informasi diberikan secara tertulis atau audiovisual, serta memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Standar ini akan membahas lebih lanjut mengenai: Pengelolaan kegiatan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS), Komunikasi dengan pasien dan keluarga.
Dalam hal ini beberapa hal yang terkait dengan edukasi harus berfokus pada pasien (PCC-patient center care), termasuk didalamnya edukasi perkembangan pasien, edukasi permintaan persetujuan tertulis pasien dalam inform concent, edukasi pasien kritis, edukasi pasien terminal, edukasi promosi kesehatan.
Penutup
Komunikasi merupakan sebuah kemustahilan untuk tidak dilakukan, karena kita manusia yang bersifat sosial membutuhkan interaksi dengan orang lain. Komunikasi efektif merupakan hubungan timbal balik antara pengirim pesan dan penerima pesan, sehingga mencapai tujuan dan pemahaman yang sama. Komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga kualitas mutu dan keselamatan pasien, semua unsur yang ada di dalam rumah sakit harus memahami kondisi ini dan menempatkan komunikasi efektif sebagai program yang harus dilaksanakan.
Komunikasi efektif terkandung didalam banyak Standar Akreditasi Rumah Sakit, hal ini mencerminkan komunikasi efektif memegang peranan yang sangat penting. Komponen prinsip dasar dalam berkomunikasi efektif harus dimiliki oleh PPA dan semua unsur di rumah sakit, penerapan metode SBAR dan kemauan untuk mengikuti kaidah “menulis/menginput ke komputer - membacakan – konfirmasi akan menunjang keberhasilan berkomunikasi secara efektif.
Sumber : https://igunwinarno.com/artikel?v=41 (/gude).