KRISIS HIPERGLIKEMIK

KRISIS HIPERGLIKEMIK

Krisis Hiperglikemik

Nathasya Fernanda/ Igun Winarno

 Pendahuluan 

Angka kejadian Diabetes Melitus (DM) terus meningkat setiap tahunnya. Menurut data dari International Diabetes Federation tahun 2015 menunjukkan 415 juta orang dewasa menderita DM di dunia dan jumlahnya diproyeksikan akan menjadi 642 juta pada tahun 2040. Pada tahun 2015 Indonesia menempati peringkat ketujuh terbanyak penderita DM di dunia. DM dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia.

Komplikasi akut dari DM adalah Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS). Perubahan istilah dari HONK (koma hiperosmolar non ketotik) menjadi Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS) terjadi karena hiperglikemik hiperosmolar berdasarkan fakta bahwa beberapa pasien mungkin tampak sangat sakit namun tidak sampai koma dan bias terjadi ketotik ringan disertai asidosis.

Angka kematian HHS diperkirakan setinggi 20%, yaitu sekitar 10 kali lebih tinggi dibandingkan KAD. Hal tersebut dipersulit oleh infeksi, komplikasi vaskular, kejang, edema serebral, dan mielinolisis pontine sentral.

Definisi dan Faktor Pemicu

Krisi hiperglikemik (GDS >250 mg/dL) merupakan kasus kegawat daruratan yang membutuhkan pengelolaan segera. Kondisi tersebut ditemukan pada penderita DM tipe 1 atau 2 dengan factor pencetus antara lain infeksi (bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, sepsis), penyakit vascular akut (penyakit serebrovaskular, infark miokard akut, emboli paru), trauma, pengobatan diabetes inda ekuat, kelainan gastrointestinal, dan obat-obatan tertentu. Infeksi merupakan factor predisposisi yang paling sering ditemukan pada 40-60% pasien krisis hiperglikemik.

Krisis hiperglikemik dibagi menjadi dua jenis yaitu Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS) yang dibedakan berdasarkan status mental, status hidrasi, nilai pH, peningkatan osmolalitas, dan ketonemia / ketonuria. Perbedaan secara rinci antara KAD dan HHS dapat dilihat pada table dibawah.

Patofisiologi

Pada semua jenis krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin yang terjadi secara relative maupun absolut, peningkatan hormone kontra insulin (glukagon, katekolamin, kortisol, dan GH). Hormon-hormon tersebut menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan ganggua nutilisasi glukosa di jaringan sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah dan perubahan osmolaritas ekstra selular. Defisiensi insulin absolute menyebabkan gangguan total dalam utilisasi glukosa sebagai sumber energy sehingga akan memecah lemak sebagai sumber energi dan menghasilkan zat yang disebut badan keton (ketogenesis). Badan keton tersebut bersifat asam sehingga meningkatkan potensi terjadinya asidosis pada pasien.

 

Manifestasi Klinis

  • Anamnesis

Keluhan yang mengarah pada krisishi perglikemik ialah poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, mual-muntah, dehidrasi, lemas, dan perubahan status mental. Progresivitas HHS terjadi dalam beberapa hari hingga minggu sehingga sering ditemukan kadar gula pasien sudah melampaui 600 mg/dL. Progresivitas KAD terjadi lebih singkat (<24 jam) Karena gejala-gejala asidosis tampaknya tadi temukan pada pasien.

  • Pemeriksaan Fisik

KAD : Turgor kulit menurun, respirasi Kussmaul (cepat dan dalam), takikardia, hipotensi, nyeri abdomen difus

HHS :Tanda neurologis fokal dan kejang, normotermik atau hipotermi karena vasodilatasi perifer

Tatalaksana
Prinsip tatalaksana krisis hiperglikemik adalah mengganti kehilangan cairan dan elektrolit ,mengobati factor pencetus, menormalkan osmolalitas, serta menormalkan gula darah secara bertahap.

Tatalaksana Awal

Tujuan terapi awal adalah rehidrasi intravena secara agresif sehingga dapat mengembalikan perfusi perifer. Pada sebagian besar kasus terjadi kehilangan elektrolit seperti natrium, klorida, dan kalium, sehingga dipilih larutan NaCl 0,9% dan kalium ditambahkan guna mencegah terjadinya hipokalemia setelah terapi insulin eksogen. Seiring dengan penurunan kadar gula darah akan menyebabkan kenaikan kadar natrium (GD turun 100 mg/dl menyebabkan kenaikan natrium 2,4 mmol/L) sehingga bias dipertimbangkan penggantian cairan dengan D5½N Satau NaCl 0,45%.

Penggunaan insulin bolus bias di mulai di jam ke-2 setelah resusitasi cairan adekuat, dengan dosis 0,05 - 0,1 unit per kg per jam yang dilanjutkan dengan infus insulin kontinu. Penurunan kadar glukosa darah disarankan jangan terlalu cepat, direkomendasikan antara 50-75 mg/dL/jam dengan target gula darah 200-300 mg/dL. Normalisasi dari nilai elektrolit dan osmolalitas dapat memakan waktu hingga 72 jam.

Tatalaksana Rumatan

  • Cairan resusitasi dengan NaCl 0,9% dapat diganti dengan NaCl 0,45% dan setelah gula darah mencapai 150-250 mg/dL, cairan intravena disubstitusi dengan menggunakan D5½NS.
  • Jika gula darah mencapai 150-200 mg/dL dan stabil maka dosis infus insulin bias diturunkan ke 0,02 - 0,1 unit/kgBB/jam.
  • Penggunaan insulin long acting dapat dipertimbangkan ketika pasien sudah bias makan peroral. Pemberian insulin long acting dan infus insulin bias dilakukan bersamaan selama 2-4 jam pertama untuk mencegah kadar insulin yang inadekuat dalam plasma.

  Komplikasi

  • Hipoglikemia dan hipokalemia akibat penggunaan insulin intravena berlebihan. Diperlukan monitoring ketat setiap 1-2 jam hingga gula darah mencapai target dan stabil.
  • Edema serebral akibat hidrasi berlebihan, penurunan osmolaritas yang cepat
    Penurunan glukosa dilakukan secara bertahap dan dipertahankan hingga250-300 mg/dL sampai osmolalitas normal dan status mental perbaikan.

 Referensi :

  1. Petunjuk PraktisTerapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Perkeni. 2021.
  2. Gregg DS. Hyperosmolar Hyperglycemic State. Am Fam Physician.2017 Dec 1;96(11):729-736.
  3. Dyanne PW. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment. Am Fam Physician.2013 Mar 1;87(5):337-346.
  4. Jameson J, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J.Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e. McGraw Hill; 2018.

Related Posts

Komentar