SINDROM KORONER AKUT – NSTEMI

SINDROM KORONER AKUT – NSTEMI

Oleh dr Azzahra Dzakiyah & dr. Rakhmat Tajudin, Sp.PD

Ajibarang,- Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis mencakup henti jantung, ketidakstabilan elektrisitas jantung, gangguan hemodinamik dengan syok kardiogenik karena iskemia yang sedang berlangsung atau komplikasi mekanis seperti regurgitasi mitral yang berat atau hanya berupa gambaran klinis pasien yang merasakan nyeri hingga saat kembali bebas nyeri. Pembuluh koroner merupakan pembuluh darah utama yang mendarahi jantung. Adanya ketidakseimbangan antara supply/pemenuhan oksigen dan demand/kebutuhan akibat oklusi atau sumbatan maupun vasospasme dapat menyebabkan munculnya gejala SKA.

Gejala awal yang mengarahkan pada dugaan SKA umumnya berupa rasa tidak nyaman pada dada yang bersifat akut yang digambarkan sebagai sensasi nyeri, tertekan benda berat, terikat, dan rasa terbakar yang dapat menjalar ke lengan kanan/kiri / punggung/ dagu. Gejala yang setara dengan nyeri dada mungkin dijumpai pada pasien SKA di antaranya sesak, nyeri ulu hati, dan nyeri menjalar di lengan kiri.Sebagian besar sindrom koroner akut disebabkan karena plak atheroma pada pembuluh darah yang pecah. Faktor risiko pasien yang meningkatkan kejadian SKA diantaranya adalah usia, laki-laki, genetik/riwayat keluarga, hipertensi, dislipidemia, merokok, obesitas, diabetes melitus, dan gaya hidup sedentary (kurang beraktivitas). Faktor tersebut memicu lesi atau perlukaan pada endotel (dinding dalam) pembuluh darah sehingga memungkinkan kolesterol yang bermasa jenis rendah (LDL) mudah menempel pada endotel. Penumpukan yang terus berlangsung memicu terjadinya reaksi inflamasi lebih lanjut serta terbentuknya plak yang dilapisi fibrosa. Apabila lapisan fibrosa plak tebal, ia akan lebih stabil dan tidak mudah pecah, yang kemudian disebut dengan angina pektoris stabil atau sindrom koroner kronik, dimana gejala nyeri dada timbul pada saat aktivitas dan berkurang dengan istirahat atau dengan pemberian nitrat. Sementara apabila lapisan fibrosa plak tipis, ia akan lebih mudah pecah, dan memicu agregasi trombosit sehingga menimbulkan oklusi/sumbatan pada pembuluh darah koroner.

Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).  Oklusi pembuluh darah yang total akan memunculkan gambaran EKG (elektrokardiografi) ST elevasi, sedangkan apabila sumbatannya parsial, gambaran EKG akan menunjukan non ST elevasi (ST depresi, T inversi, atau normal). NSTEMI (Infark Miokard Non ST Elevasi) dibedakan dengan UAP (Angina tidak stabil) berdasarkan hasil pemeriksaan enzim jantung, dimana pada NSTEMI terdapat peningkatan biomarker enzim jantung. Angina tidak stabil didefinisikan sebagai iskemia miokard saat istirahat atau aktivitas minimal tanpa adanya cedera/nekrosis kardiomiosit akut.

Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

Kriteria yang diperlukan untuk memenuhi diagnosis IMA yaitu deteksi peningkatan dan / atau penurunan biomarker jantung, sebaiknya high-sensitivity cardiac troponin (hs-cTn) T atau I minimal satu nilai di atas persentil ke-99 dari batas referensi atas dengan salah satu dari kondisi berikut:

(1) Gejala iskemia miokard

(2) Perubahan EKG iskemik onset akut

(3) Perkembangan gelombang Q patologis pada EKG

(4) Gambaran pencitraan dari hilangnya viabilitas miokardium atau abnormalitas gerakan dinding regional akut dalam pola yang konsisten dengan etiologi iskemik

(5) Trombus intrakoroner yang terdeteksi pada angiografi atau otopsi

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah ke iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin. Sadapan V3R dan V4R serta V7-9 sebaikmya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah ke iskemia dinding inferior. Sedapat mungkin EKG dilakukan dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di rumah sakit.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah NSTEMI atau APTS. Depresi segmen ST yang diagnostic untuk iskemia adalah sebesar >0.05 mV di sadapan V1-V3 dan >0.1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit) dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris 0.2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk iskemia akut. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien IMA-NEST dan APTS antara lain:

  1. Depresi segmen ST dan atau inversi gelombang T, dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
  2. Gelombang Q yang menetap
  3. Non diagnostic
  4. Normal

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan perlu dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus menerus.

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau Troponin I/T merupakan biomarka nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai biomarka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesivitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan biomarka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosis apakah koroner atau non-koroner. Troponin I/T juga dapat meningkat akibat kelainan kardiak non coroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/pericarditis. Keadaan non kardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologic akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi dan insufisiensi ginjal.

Terapi awal yang dapat dilakukan pada sindrom koroner akut adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (MONA) yaitu tirah baring, oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2<90% atau PaO2<60mmHg), Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin, Penghambat reseptor adenosine difosfat (Clopidogrel 300mg dilanjutkan 75mg/hari atau ticagrlor 180mg dilanjutkan 2x90mg), NTG spray/ tablet sublingual / ISDN sublingual yang dapat diulang setiap 5 menit bila masih nyeri dada maksimal 3x, morfin sulfat 1-5mg iv dapat diulang tiap 10-30 menit bagi pasien yang tidak responsive terhadap terapi 3 dosis NTG sublingual.

Pada pasien NSTEMI, pilihan terapi selanjutnya didasarkan pada stratifikasi risiko pasien yang dapat dilihat berdasarkan skor risiko GRACE, TIMI, dan CRUSADE (untuk risiko perdarahan). Pasien dengan kriteria risiko sangat tinggi perlu tindakan invasive segera dalam waktu <2 jam, risiko tinggi <24 jam, risiko intermediate <72 jam, dan risiko rendah dilakukan tes stress non invasive. Strategi invasif memiliki peran untuk mengonfirmasi diagnosis SKA yang berhubungan dengan pembuluh darah epicardial pada PJK sehingga dapat memandu pemberian antitrombotik dan menghindari paparan antitrombotik yang tidak diperlukan, mengidentifikasi lesi penyebab, memastikan indikasi revaskularisasi coroner dan menilai kelayakan PCI (Percutaneous Coronary Intervention) dan CABG (Coronary Artery Bypass Graft), menentukan stratifikasi risiko jangka pendek dan jangka panjang.

Sedangkan untuk terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien NSTEMI, prinsipnya adalah untuk meningkatkan pemenuhan oksigen ke jantung dan mengurangi kebutuhan oksigen jantung diantaranya dengan anti iskemia berupa beta blocker, nitrat, maupun CCB. Anti trombotik berupa double antiplatelet (aspirin dan penghambat reseptor ADP- Clopidogrel/ticagrelor) selama 12 bulan dan Anti koagulan (UFH/LMWH/Fondaparinux). ACE-inhibitor untuk mengurangi remodelling pasca infark serta statin dosis tinggi tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL pasien.

Sindrom Koroner Akut menjadi salah satu penyumbang penyebab kematian terbesar di Indonesia (37%). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencegah penyakit jantung koroner dengan mengendalikan faktor risiko yang dapat diubah seperti hipertensi, diabetes melitus, kadar kolesterol, obesitas, kebiasaan merokok, dan olahraga rutin. Pengendalian faktor risiko serta pengenalan gejala sindrom koroner akut dini serta manajemen yang tepat dapat mengurangi kemungkinan mortalitas dan morbiditas pasien akibat sindrom koroner akut.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Task A, Members F, Chairperson JC, Thiele H, Germany C, Barthe O, et al. 2020 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST elevation The Task Force for the management of acute coronary syndromes -segment elevation of. 2020;1–79.
  2. Uk CB, Germany GH, Germany AK, Lenzen MJ, Denmark EP, Vranckx P. 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST -segment elevation The Task Force for the management of acute myocardial infarction. 2018;(May):119–77.
  3. Kusmana D, et. al. Patofisiologi penyakit jantung koroner. In: Ismudiati L, editor. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. p. 159–64.
  4. Juzar D, Danny S, Irmalita, Tobing D. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta:PERKI. 2018.
  5. Zul Dahlan, Barmawi Hisyam, dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. 2014. Jakarta : Interna Publishing. p 1608-1657.

Related Posts

Komentar