Belajar EWS di Bumi Wong Kito Galo
Ajibarang; Cardiac Arrest merupakan kasus yang harus ditangani dengan segera. Keberhasilan resusitasi sangat dipengaruhi oleh kecepatan respon dan ketepatan dalam melakukan high quality CPR. RSUD Ajibarang telah melaksanakan pelayanan resusitasi jantung paru pada pasien cardiac arrest salah satunya dengan adanya Tim Code Blue yang akan segera menuju ke lokasi sesuai dengan areanya. Adapun pasien dengan penyakit yang beresiko mengalami henti jantung harus dilakukan intervensi untuk mencegah terjadinya cardiac arrest. Salah satunya dengan melaksanakan Sistem Deteksi Dini (Early Warning System). Dengan pelaksanaan EWS diharapkan akan meminimalkan kejadian cardiac arrest sekitar 50% di rumah sakit dan aktivasi Tim Code Blue yang cepat serta tindakan dengan high quality CPR akan membuat ROSC (return of spontaneus circulation) sekitar 30%.
Sehubungan dengan hal ini, maka RSUD Ajibarang menugaskan tiga orang petugas yang terdiri dari dokter spesialis anestesi (dr Igun Winarno, SpAn), dokter umum (dr Maela Rustiana dewi) dan perawat (Yuniar Dwi Martanti, S. Kep., Ns) untuk mengikuti kegiatan Workshop High Quality CPR, Code Blue and Early Warning System (EWS) pada tanggal 12 – 13 September 2018 di Hotel Horison, Palembang dan dilanjutkan dengan Symposium How Is Sepsis Today pada tanggal 14 – 15 September 2018 di Hotel Aryaduta, Palembang. Kedua acara ini merupakan rangkaian dari 9th Annual Meeting of ISICM In Conjunction With 6th World Sepsis Day.
Pada hari pertama, workshop diisi dengan materi Evidence Behind CPR, History of CPR, New Model CPR, ACLS : Algorythm Flashback, Airway Mangement, Systemic Oxygenation during CPR, dan CPR Leadership. Disampaikan oleh pembicara, bahwa tujuan utama resusitasi adalah pengembalian fungsi kardiopulmonal yang mencakup ventilasi, oksigenasi dan perfusi yang akan memulihkan metabolisme aerob sehingga mencegah terjadinya kematian sel dan kegagalan fungsi organ. Tujuan ini dapat dicapai dengan pelaksanaan high Quality CPR dan didukung oleh kecepatan dan ketepatan aktivasi Tim Code Blue. Sistem Resusitasi yang mengadopsi dari Advanced Training Resuscitation (ART) ini tidak memiliki banyak perbedaan dengan algoritma AHA 2015. Hanya ada sedikit perbedaan pada teknik pelaksanaan high Quality CPR yaitu penekanan teknik minimal interuption dan keterlibatan teknologi dalam pelaksanaan resusitasi. dr Sidharta, SpAn menyampaikan bahwa prinsip CPR yang dilakukan kurang lebih sama dengan algoritma AHA 2015, namun ART mengajarkan teknik bagaimana meminimalkan interupsi sehingga diharapkan dalam kompresi interupsi yang dilakukan bisa benar-benar minimal, karena interupsi yang terlalu lama atau terlalu sering akan “merusak” perfusi yang telah dicapai dalam periode kompresi sebelumnya. Selain minimal interupsi, penggunaan teknologi juga mendukung optimalnya resusitasi. Diantaranya yaitu penggunaan DC shock dengan filter kompresi untuk melihat gelombang yang dihasilkan merupakan gelombang elektrik dari pasien atau hasil kompresi, monitoring End tidal CO2 (EtCO2) untuk mengetahui keberhasilan CPR dan intubasi endotracheal, penggunaan CPR feedback untuk mengetahui keefektifan CPR (kedalaman, recoil, kecepatan dan analisa CPR secara keseluruhan), serta Near Infrared Spectroscopy (NIRS) untuk memonitor oksigenasi jaringan cerebral.
Post materi, peserta dibagi menjadi empat kelompok untuk skill station. Dalam skill station, peserta dikenalkan dengan peralatan yang digunakan dalam resusitasi meliputi set airway, AED, CPR feedback, Autopulse (alat CPR otomatis), dan Mini ICU in Ambulance (ambulance standar internasional dengan peralatan ICU portable). Di akhir skill station peserta mengikuti CPR Challenge : Blind CPR, yaitu peserta melakukan CPR selama 1 menit tanpa menggunakan CPR feedback dan dilanjutkan dengan CPR with CPR feedback selama 1 menit dan direkam. Review CPR challenge dilakukan pada hari kedua dan ternyata dari hasil rekaman, sebagian besar peserta dinilai kurang efektif dalam melakukan Blind CPR dimana kecepatan dan kedalaman kompresi kurang konsisten dibandingkan saat melakukan CPR dengan menggunakan CPR feedback, dimana kecepatan dan kedalaman cenderung lebih konsisten karena peserta dapat melihat di layar monitor kualitas kompresi yang dilakukan.
Pada hari kedua peserta diberikan materi tentang Pencegahan Resusitasi, Early Warning System dan Code Blue. Kejadian pasien arrest di bangsal dapat dicegah dengan mengetahui kondisi yang dapat menimbulkan henti jantung dan melakukan intervensi untuk menghentikan proses tersebut sebelum berlanjut menjadi henti jantung. Menurut “Theory of Everything”, henti jantung dapat terjadi karena faktor sirkulasi, gangguan irama, respirasi dan neurologi. Pencegahan henti jantung dengan EWS dilakukan dengan melakukan skoring pada pasien yang dirawat dengan melakukan penilaian terhadap RR, HR, tekanan darah sistolik, Saturasi, penggunaan oksigen, suhu, dan tingkat kesadaran. Masing-masing parameter diberikan skor antara 0 – 3. Total skor yang diperoleh akan menentukan waktu minimal observasi dan intervensi yang dilakukan apakah pasien memerlukan perawatan di ICU dan sebagainya. Penilaian EWS ini harus dengan persepsi yang sama ketika dilakukan baik oleh perawat maupun dokter. Dengan penerapan EWS yang baik diharapkan sebelum terjadi arrest pasien dapat ditangani sesuai kebutuhan termasuk apakah pasien perlu ditransfer ke ICU sehingga nantinya semakin meminimalkan aktivasi Tim Code Blue.
Pada hari ketiga dan keempat, rangkaian acara 9th Annual Meeting of ISICM in Conjunction with 6th World Sepsis Day dilanjutkan di Ballroom Hotel Aryaduta Palembang. Bertepatan dengan World Sepsis Day yang jatuh pada tanggal 13 September, tema besar dalam simposium kali ini adalah mengenai sepsis yang bertajuk “How is Sepsis Today?” Sepsis merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses peradangan yang berlebihan sebagai bentuk respons tubuh terhadap suatu infeksi, dan menyebabkan kerusakan berbagai sistem organ. Sepsis memiliki angka kematian yang tinggi yaitu lebih dari 50%, dengan insiden pertahunnya mencapai 30 juta kasus dan 6 juta kematian (WHO 2017).
Algoritma diagnosis sepsis terbaru didasarkan pada Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2016 yang menjadi guideline internasional dalam diagnosis sepsis di seluruh dunia. Adanya skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) yang terdiri dari enam penilaian yaitu respirasi, faktor koagulasi, kesadaran, sistem kardiovaskular, liver, dan ginjal, membantu klinisi untuk memprediksi prognosis pasien. Dalam simposium ini, beberapa topik yang dibahas meliputi bagaimana mendiagnosis sepsis dan diskusi kasus interaktif, resusitasi pada pasien sepsis, terapi antibiotik pasien sepsis, nutrisi pasien kritis, trombofilaksis dan bagaimana monitoring pasien sepsis.
Sebagai rencana tindak lanjut dari workshop ini, sesuai dengan amanat Akreditasi SNARS Edisi 1 Pokja PAP Standar 3. 1 tentang Pengenalan Dini Kegawatdaruratan dan Standar 3.2 tentang Pelayanan Resusitasi maka akan akan dilaksanakan penyusunan Panduan dan SPO tentang Early Warning System serta SPO Review pelaksanaan BHD dan Code Blue. Selain itu, tim berkoordinasi dengan Instalasi Diklat dan PSDM serta Tim BHD akan merencanakan In House Training Early Warning System dan Refresh Tim Code Blue. Semoga dengan pelaksanaan EWS di RSUD Ajibarang akan semakin meningkatkan pelayanan yang diberikan dan tentu saja akan meningkatkan kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap RSUD Ajibarang.
Demikian tadi sekelumit pengalaman empat hari yang sangat berkesan. Selain materi yang sangat bermanfaat, kami juga disuguhi dengan hidangan yang lezat khas kota Palembang dan tentu saja keindahan jembatan Ampera, ikon Bumi Wong Kito Galo yang membelah pekatnya sungai Musi. For your information, Ampera ini semakin cantik di lihat pada malam hari dari River Side, yaitu saat lampu-lampu mulai dinyalakan.
(Yn&MRD)