NOVEL ONLIINE RAMADAN YANG DIRINDUKAN - BAB 6- USIA SENJA DAN KETEGUHAN IMAN DI RAMADAN

NOVEL ONLIINE RAMADAN YANG DIRINDUKAN - BAB 6- USIA SENJA DAN KETEGUHAN IMAN DI RAMADAN

BAB 6

USIA SENJA DAN KETEGUHAN IMAN DI RAMADHAN

By. Igun Winarno

 Ramadhan selalu membawa keberkahan bagi mereka yang menjalaninya dengan penuh keikhlasan. Di setiap sahur yang sunyi dan setiap azan Maghrib yang menggema, ada hati-hati yang berserah, menjalani ibadah dengan ketulusan. Bagi sebagian orang, Ramadhan adalah bulan untuk memperbanyak istirahat, mengurangi aktivitas, dan menghemat tenaga. Namun, bagi Bapak Ahmad, lelaki berusia 88 tahun, Ramadhan adalah kesempatan untuk semakin mendekat kepada Allah, tanpa mengurangi semangatnya dalam bekerja dan beribadah.

Di usianya yang senja, tubuhnya mungkin tak sekuat dulu, tetapi jiwanya tetap teguh. Ia masih bangun lebih awal sebelum Subuh, menyiapkan sahur dengan sederhana, lalu berjalan perlahan ke masjid untuk sholat berjamaah. Setelah itu, ia tetap turun ke sawah, merawat padi dengan penuh cinta, tanpa sedikit pun keluhan. Baginya, berpuasa bukan alasan untuk berhenti berusaha, justru sebaliknya, Ramadhan adalah bulan untuk membuktikan bahwa keteguhan hati lebih kuat daripada lelahnya tubuh.

Fakhrudin duduk di beranda rumahnya, matanya menatap jauh ke arah sawah tempat Bapak Ahmad tengah bekerja. Matahari mulai meninggi, udara siang kian panas, tapi lelaki tua itu tetap tekun, mengayunkan cangkul dengan ritme yang tak goyah. Fakhrudin menghela napas panjang. Di usianya yang jauh lebih muda, ia sering merasa lemas saat berpuasa, mencari alasan untuk bermalas-malasan atau sekadar tidur lebih lama. Tapi Bapak Ahmad? Usianya hampir sembilan dekade, tubuhnya sudah renta, namun semangatnya seolah tak pernah pudar.

"Apa rahasianya?" gumam Fakhrudin dalam hati. Ia ingat, setiap pagi sebelum Subuh, Bapak Ahmad sudah berada di masjid. Setelah sahur, beliau tidak memilih untuk kembali tidur, melainkan berjalan ke sawah, bercocok tanam seperti hari-hari biasa. Sore harinya, ia masih sempat membaca Al-Qur’an di serambi, suaranya lembut dan penuh penghayatan. Sementara Fakhrudin sendiri, sering kali tergoda untuk hanya menjalani puasa dengan setengah hati, sekadar menahan lapar dan dahaga tanpa benar-benar meresapi maknanya. Ada rasa iri yang menyelinap, bukan iri karena tak bisa sekuat beliau secara fisik, tetapi iri karena tak memiliki keikhlasan dan keteguhan yang sama.

Fakhrudin mengeratkan genggaman tangannya. "Aku harus berubah," bisiknya pelan. Ia tidak ingin hanya menjadi penonton yang mengagumi dari kejauhan. Ramadhan ini harus berbeda. Ia ingin menjalani ibadah dengan hati yang lebih ikhlas, lebih semangat, seperti Bapak Ahmad. Mungkin ia belum bisa setangguh lelaki tua itu, tapi ia bisa belajar, sedikit demi sedikit. Ia ingin merasakan nikmatnya beribadah dengan sungguh-sungguh, bukan hanya karena kewajiban, tapi karena cinta kepada-Nya.

Waktu terus berjalan dan malam Ramadhan terasa hangat di teras rumah Fakhrudin. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma khas tanah basah setelah disiram embun malam. Di sana, Fakhrudin duduk bersama Hafid, menikmati teh hangat sambil berbincang ringan. Obrolan mereka perlahan mengarah pada sosok yang begitu mereka kagumi, Bapak Ahmad, seorang lelaki tua berusia 88 tahun yang tetap teguh dalam menjalankan ibadah puasa.

"MasyaAllah, Pak Ahmad itu luar biasa ya, Mas," ujar Hafid sambil menyeruput tehnya. "Di usia hampir sembilan puluh tahun, beliau masih rajin berpuasa dan bekerja di sawah. Jarang sekali aku melihat orang setua itu masih sekuat beliau."

Fakhrudin tersenyum, mengangguk setuju. "Benar, Fid. Aku sering melihatnya berjalan menuju sawah saat Subuh baru saja berlalu. Dengan tubuh ringkihnya, beliau tetap mengayunkan cangkul, menanam padi, dan merawat tanahnya dengan penuh cinta. Tak pernah sekalipun beliau mengeluh atau meminta keringanan, padahal kita tahu, di usia itu, tenaga pasti sudah jauh berkurang."

Hafid termenung sejenak, membayangkan sosok tua yang penuh semangat itu. "Aku ingat, tahun lalu aku bertanya kepadanya, 'Pak, kenapa masih mau puasa? Kan sudah tua, boleh kalau tidak puasa.' Tapi beliau hanya tersenyum dan berkata, 'Nak, puasa ini bukan sekadar menahan lapar dan haus. Ini latihan untuk hati dan jiwa. Kalau aku berhenti, mungkin aku akan lemah, bukan hanya di tubuh, tapi juga di iman.'"

Kata-kata itu masih terngiang di telinga Hafid. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seorang petani tua yang setiap hari bekerja di bawah terik matahari tetap berpuasa dengan penuh keikhlasan. "Bang Udin, anak-anak beliau juga sukses semua ya?" tanyanya kemudian.

Fakhrudin mengangguk. "Iya, mereka semua berhasil. Ada yang jadi dokter, ada yang jadi dosen, ada juga yang punya usaha sendiri. Tapi meskipun begitu, Bapak Ahmad tetap memilih hidup sederhana. Katanya, tanah dan sawah ini adalah bagian dari hidupnya. Beliau ingin tetap dekat dengan tanah, karena dari sinilah rezekinya berasal sejak muda."

Hafid menghela napas, kagum akan keteguhan hati Bapak Ahmad. "Iman dan semangatnya benar-benar luar biasa. Biasanya, orang seusianya lebih memilih beristirahat, tapi beliau justru terus bergerak. Tidak hanya dalam bekerja, tapi juga dalam ibadahnya."

"Benar sekali," jawab Fakhrudin. "Beliau tidak pernah meninggalkan sholat malam, bahkan saat tubuhnya terasa lemah. Setiap malam Ramadhan, beliau selalu menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur'an setelah Tarawih. Kadang aku bertanya, 'Pak, tidak lelah?' Tapi beliau hanya tertawa kecil dan menjawab, 'Lelah itu di dunia, Nak. Kalau di akhirat, insyaAllah kita akan beristirahat dengan damai.'"

Hafid tersenyum haru. Sosok Bapak Ahmad bukan hanya sekadar petani tua, tetapi juga cerminan seorang hamba yang teguh dalam keimanan. "Aku ingin seperti beliau, Din. Menjalani hidup dengan penuh keikhlasan, tetap kuat dalam ibadah, dan tidak pernah berhenti bersyukur."

Fakhrudin menepuk bahu Hafid. "Kita semua bisa belajar dari beliau. Usia boleh menua, tubuh boleh melemah, tapi iman harus tetap kuat. Karena pada akhirnya, yang akan kita bawa bukan harta, bukan jabatan, tapi amal dan keteguhan hati kita kepada Allah." Malam semakin larut, tetapi obrolan mereka meninggalkan kesan mendalam, mengingatkan bahwa hidup yang berkah bukan tentang berapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa dekat kita dengan Allah.

Hafid tertawa kecil sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Eh, obrolan kita ini bukan ghibah kan?” tanyanya setengah bercanda, tapi tetap ada nada serius di dalamnya. Fakhrudin tersenyum, menyadari bahwa mereka memang membicarakan seseorang, meskipun dalam konteks kekaguman dan pelajaran hidup. “Aku rasa tidak, Hafid,” jawabnya pelan. “Kita membahas hal yang baik, mengagumi keikhlasan dan keteguhan Bapak Ahmad. Selama kita tidak menjelek-jelekkan atau menggunjing sesuatu yang buruk, insyaAllah ini bukan ghibah.”

Hafid mengangguk, mencoba mengingat ajaran Islam tentang hal ini. “Iya, aku juga pernah dengar, ghibah itu kalau kita membicarakan keburukan seseorang tanpa sepengetahuannya. Rasulullah ﷺ sendiri pernah bersabda, ‘Apakah kalian tahu apa itu ghibah?’ Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Lalu beliau bersabda, ‘Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.’ Kemudian ada yang bertanya, ‘Bagaimana jika yang aku katakan itu benar?’ Beliau menjawab, ‘Jika benar, berarti engkau telah menggunjingnya, dan jika tidak benar, berarti engkau telah memfitnahnya.’” (HR. Muslim).”

Fakhrudin mengangguk setuju. “Betul, Hafid. Justru, dalam Islam, kita dianjurkan untuk meneladani kebaikan orang lain dan mengambil hikmah dari mereka. Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda, ‘Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat’ (HR. Bukhari). Itu artinya, kita boleh membagikan kisah dan pelajaran hidup yang bisa menginspirasi, selama niatnya baik dan bukan untuk merendahkan.”

Hafid tersenyum lega. “Benar juga, ya. Jadi, obrolan kita ini lebih ke tadabbur, mengambil pelajaran dari kehidupan orang lain. Aku rasa, jika kita bisa meniru semangat Bapak Ahmad dalam beribadah, itu sudah menjadi langkah baik dalam menjalani Ramadhan.” Fakhrudin mengangguk mantap. Dengan hati yang lebih tenang, mereka saling berpandangan, meresapi hikmah dari perbincangan malam itu. Akhirnya, mereka pun berpisah, membawa masing-masing niat untuk terus memperbaiki diri, menjadikan kebaikan orang lain sebagai cermin untuk masa depan yang lebih baik.

Fajar telah menyingsing, meninggalkan jejak cahaya keemasan di ufuk timur. Udara pagi terasa sejuk, menyelimuti masjid kecil tempat Fakhrudin, Hafid, Dokter Fadli, dan Agus duduk bersila setelah menunaikan sholat Subuh. Suasana masih hening, hanya terdengar lantunan dzikir dari beberapa jamaah yang masih khusyuk. Di tengah kesyahduan itu, Guru Darmadji, seorang ulama sepuh yang disegani, duduk di antara mereka. Tatapan matanya teduh, penuh kebijaksanaan, seakan mampu menenangkan siapa pun yang berada di sekitarnya.

"Guru, kami tadi malam membahas tentang Bapak Ahmad, seorang petani tua berusia 88 tahun yang tetap berpuasa dengan penuh semangat. Kami takjub dengan kekuatan imannya, meski usianya sudah sangat lanjut," kata Fakhrudin membuka pembicaraan. Hafid mengangguk, menambahkan, "Kami juga membahas bagaimana beliau menjalani Ramadhan dengan penuh keikhlasan dan ketakwaan. Apakah benar, Guru, bahwa seseorang yang sudah lanjut usia seperti beliau masih berpuasa untuk menjaga hati dan imannya?"

Guru Darmadji tersenyum bijak. "Bapak Ahmad adalah contoh nyata bahwa ibadah tidak mengenal usia. Semangatnya dalam berpuasa menunjukkan betapa besar kecintaannya kepada Allah. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa keikhlasan dalam beribadah membawa keberkahan, tak peduli berapa usia seseorang."

Dokter Fadli, yang selama ini terbiasa melihat pasien lanjut usia dengan kondisi tubuh yang mulai melemah, merasa kagum dengan keteguhan Bapak Ahmad. "Secara medis, puasa memang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, tetapi tidak semua lansia mampu menjalankannya. Namun, jika seseorang tetap berpuasa dengan semangat seperti Bapak Ahmad, apakah ini lebih karena faktor fisik atau justru karena kekuatan iman?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.

Guru Darmadji mengangguk, menatap mereka dengan penuh hikmah. "Ibadah itu berakar pada hati, bukan sekadar pada fisik. Ketika hati seseorang telah tertambat pada Allah, tubuhnya pun akan mengikuti. Allah berfirman dalam Al-Qur'an, ‘Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya...’ (QS. At-Talaq: 2-3). Kekuatan yang kalian lihat pada Bapak Ahmad bukan hanya berasal dari tubuhnya, tetapi dari ketakwaannya."

Agus, yang selama ini sering merasa lelah saat menjalani tugas di ICU selama Ramadhan, mulai memahami sesuatu. "Jadi, keberkahan Ramadhan itu bukan hanya soal ibadah fisik, tapi juga tentang bagaimana hati kita menerimanya dengan ikhlas dan penuh pengharapan kepada Allah?" tanyanya penuh antusias.

"Tepat sekali," jawab Guru Darmadji. "Keberkahan Ramadhan itu turun kepada siapa saja yang menjalankannya dengan ketakwaan dan keikhlasan. Bahkan, seseorang yang sudah lanjut usia seperti Bapak Ahmad mendapatkan keberkahan bukan hanya dari puasanya, tetapi dari niat dan semangatnya yang tidak pernah luntur. Allah melihat niat seseorang lebih dari sekadar amal lahiriah."

Hafid, yang sejak awal mendengarkan dengan saksama, akhirnya menghela napas panjang. "Kadang kita yang masih muda malah sering merasa malas, bahkan mencari-cari alasan untuk tidak beribadah dengan maksimal. Sementara Bapak Ahmad, di usianya yang sudah hampir satu abad, masih bersemangat menjalani Ramadhan. Ini tamparan bagi kami," katanya lirih.

Guru Darmadji tersenyum, "Itulah mengapa Allah memberikan contoh nyata di sekitar kita, agar kita bisa belajar. Jangan hanya sekadar kagum, tapi jadikanlah itu motivasi untuk memperbaiki diri. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya.’ (HR. Ahmad). Panjang usia tidak akan berarti tanpa ketakwaan, tetapi jika usia yang panjang digunakan untuk mendekat kepada Allah, maka itu adalah keberkahan yang luar biasa."

Suasana hening sejenak. Masing-masing dari mereka tenggelam dalam perenungan. Fakhrudin kemudian berkata, "Terima kasih, Guru. Penjelasan ini membuat kami sadar bahwa keberkahan Ramadhan tidak datang begitu saja. Itu harus diraih dengan ketakwaan dan keikhlasan dalam menjalani setiap ibadah."

Guru Darmadji mengangguk dengan lembut. "Benar. Maka dari itu, janganlah melihat usia sebagai batasan dalam beribadah. Lihatlah hati dan niat. Sebab, siapa yang bersungguh-sungguh mencari ridha Allah, maka Allah akan memudahkan jalannya. Mari kita jadikan Ramadhan ini sebagai ladang amal, agar kita bisa menjadi hamba yang lebih baik."

Mereka semua mengangguk, meresapi pesan berharga itu. Dalam keheningan pagi yang penuh keberkahan, hati mereka merasa lebih ringan, seakan mendapatkan pencerahan baru. Mereka pun beranjak dari masjid dengan semangat yang diperbarui, membawa tekad untuk menjalani Ramadhan dengan lebih ikhlas dan penuh ketakwaan.

Matahari mulai merangkak naik, menyinari langit dengan cahaya keemasan yang lembut. Fakhrudin, Hafid, Dokter Fadli, dan Agus melangkah keluar dari masjid dengan hati yang lebih tenang. Percakapan mereka dengan Guru Darmadji telah membuka mata bahwa keberkahan Ramadhan tidak hanya datang dari ibadah yang tampak di mata, tetapi juga dari niat yang tulus dan ketakwaan yang mendalam. Mereka menyadari bahwa semangat seperti yang dimiliki Bapak Ahmad adalah sesuatu yang patut diteladani, bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi tentang keikhlasan dan kesungguhan dalam beribadah kepada Allah.

Saat mereka berjalan bersama, Fakhrudin menoleh ke arah Hafid dan berkata, "Mulai sekarang, kita tidak hanya mengagumi, tapi juga meneladani." Hafid mengangguk setuju, sementara Dokter Fadli dan Agus tersenyum, merasakan semangat baru dalam diri mereka. Ramadhan masih panjang, dan mereka berjanji pada diri sendiri untuk menjalaninya dengan lebih ikhlas, lebih bersyukur, dan lebih dekat kepada Allah. Di kejauhan, rintihan waktu dhuha mulai menggelitik jiwa, mengiringi langkah mereka menuju hari yang penuh berkah.

by.goens'GN

Related Posts

Komentar