
“Diri Sendiri Sumber Luka dan Bahagia”
Oleh: Igun Winarno
Sebuah refleksi bagi kita semua, khususnya para tenaga kesehatan, yang setiap hari melangkahkan kaki ke rumah sakit, membuka dada dan menghela nafas panjang demi satu tujuan, menjaga kehidupan.
Namun dalam perjalanan itu, tidak sedikit hal yang mengusik hati. Belakangan ini banyak konten, cerita, bahkan curahan hati para tenaga kesehatan yang merasa tersakiti oleh ucapan pasien dan keluarganya.
“Sudah nunggu lama kok dibiarkan saja!”
“Mana dokternya, masa enggak bisa lebih cepat?!”
“Saya bayar mahal, tapi dilayani begini?”
Kalimat-kalimat tajam seperti ini, yang keluar dari mulut orang yang sedang sakit dan panik, kadang melukai hati kita yang sedang lelah. Kita pun merasa tidak dihargai. Merasa disalahkan. Merasa tidak adil.
Tapi... mari kita duduk sejenak dan merenung.
Benarkah mereka yang menyakiti kita?
Atau... jangan-jangan, kita sendiri yang memilih untuk merasa tersakiti?
Nah, loh...
Dalam bukunya yang sangat terkenal, Man’s Search for Meaning, Viktor Frankl menulis, "Antara stimulus dan respons, terdapat ruang. Di ruang itulah kita memiliki kekuatan untuk memilih respons kita."
Apa maksudnya?
Stimulus adalah segala sesuatu yang terjadi pada kita, misalnya pasien marah, keluarga pasien berteriak, atasan menegur, atau kondisi kerja yang melelahkan.
Respons adalah reaksi kita, apakah kita ikut marah, sedih, kecewa, atau justru tetap tenang dan profesional.
Nah, "ruang" di antara stimulus dan respons itu adalah momen penting. Di sanalah kita bisa berpikir, memilih, dan menentukan bagaimana kita akan merespon situasi tersebut.
- Artinya, bukan orang lain yang menentukan emosi kita. Tapi kita sendiri yang memilih bagaimana merespons.
- Kita bisa memilih untuk tidak tersinggung. Kita bisa memilih untuk tetap sabar. Kita bisa memilih untuk tetap tersenyum, bahkan saat diperlakukan tidak menyenangkan.
“Namanya juga manusia…” heheheheh… iya sih…
Tetapi marilah, mulai langkahkan kaki dengan pilihan yang tepat.
Kendali itu ada di tangan kita sendiri.
Jika kita memilih respons yang positif, kita tidak hanya melindungi diri dari luka batin, tetapi juga membantu menciptakan suasana kerja yang sehat dan pelayanan yang menyenangkan bagi pasien.
Ada Lagi Tentang Ini. "Hanya Kita yang Bisa Menyembuhkan Diri Kita Sendiri"
Kita sering kali menggantungkan kebahagiaan pada validasi dari luar, pengakuan, pujian, atau penghargaan. Betapa bahagianya saat apresiasi itu datang, seolah dunia memeluk kita. Namun, betapa hancurnya hati saat semua itu tak kunjung hadir, seakan dunia berpaling dan membiarkan kita terjatuh sendiri.
Tapi sesungguhnya, inti dari penyembuhan bukan di luar sana. Penyembuhan adalah tentang berdamai dengan diri sendiri. Tentang bagaimana kita memeluk luka, menenangkan kegelisahan, dan menyemangati diri di tengah ketidakpastian.
Karena pada akhirnya, hanya kita ya, hanya kita sendiri yang mampu menyembuhkan rasa sakit di dalam dada. Bukan pujian, bukan penghargaan, dan bukan pengakuan. Tapi penerimaan dan kekuatan dari dalam.. Kecewa dan campur aduk tidak karuan.
Jelas ini sesuatu yang merugikan buat kita.
Penyembuhan sejati dimulai ketika kita menerima bahwa perasaan negatif adalah milik kita, dan hanya kita yang bisa mengendalikannya. Rasa kecewa, lelah, marah bisa dilatih dan dikelola dengan kesadaran dan niat untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan positif.
Contoh Nyata: Perawat ICU dan Ucapan Pasien
Seorang perawat ICU di RSUD Ajibarang pernah bercerita. “Pasien menghardik saya, menolak perawatan, bahkan memaki. Awalnya saya merasa sangat sakit hati. Tapi setelah saya merenung, saya sadar, pasien sedang berada dalam penderitaan, ketidakberdayaan, dan rasa takut. Saya yang memilih untuk merasa sakit hati. Lalu saya ubah cara pikir saya, Saya adalah partner penyembuh, bukan hanya luka fisik, tapi juga luka batin.”
Perawat tersebut lalu mengubah pendekatannya, lebih banyak tersenyum, menyapa dengan lembut, dan tidak menyimpan dendam. Hasilnya? Pasien menjadi lebih tenang, komunikasi lebih baik, dan kepuasan pelayanan meningkat. Sang perawat merasa lebih damai. Ia sembuh bukan karena pasien berubah, tapi karena ia memilih untuk menyembuhkan dirinya sendiri terlebih dahulu.
Mengapa Ini Penting untuk SDM Rumah Sakit?
Setiap hari, tenaga kesehatan menghadapi tekanan tinggi, emosi pasien dan keluarga, serta keterbatasan sistem. Bila emosi negatif tidak dikelola, bukan hanya pelayanan yang terganggu, tapi juga kesehatan mental SDM-nya.
Namun ketika tenaga kesehatan menyadari bahwa “Aku yang memilih bagaimana aku merespon. Aku yang memilih apakah ini akan menyakitiku, atau menjadikanku lebih kuat.”
Maka pelayanan pun berubah. Menjadi lebih tulus, lebih hangat, dan lebih menyembuhkan, bukan hanya bagi pasien, tapi juga bagi diri sendiri.
Ingatlah!! Menggantungkan harapan sepenuhnya kepada makhluk adalah jalan menuju kekecewaan. Manusia bersifat terbatas, lemah, berubah-ubah. Sedangkan Allah adalah tempat bergantung yang Maha Kuat, Maha Tahu, dan Maha Menepati janji.
"Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Ma’idah: 23)
Mari kita mulai bertindak, berikhtiar, belajar mengelola perasaan, mengubah cara pikir, dan tidak menyalahkan orang lain atas penderitaan kita. Tapi dalam semua usaha itu, hati kita tetap bergantung dan berharap kepada Allah.
“Barang siapa yang bergantung pada sesuatu, maka ia akan diserahkan pada sesuatu itu.” (HR. Tirmidzi). Jika kita bergantung pada manusia, kita akan diserahkan kepada kelemahan manusia itu. Tapi jika kita bergantung pada Allah, maka kita akan berada dalam penjagaan-Nya.
Dalam bekerja, melayani pasien, atau menghadapi tekanan kehidupan, jangan biarkan emosimu dikendalikan oleh sikap orang lain. Gantungkan ketenanganmu pada hatimu yang bersandar pada Allah.
Bekerjalah dengan ikhlas, karena engkau tahu:
“Cukup Allah bagiku. Dialah sebaik-baik penolong.” (QS. At-Taubah: 129)
by.goens'GN