Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik

Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik

(Ditulis oleh: dr. Dea Shanantya Prazwalitha / dr. Okto Prihermes SpKJ)

Pendahuluan

Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan social dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang.

Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.

Gangguan afektif, juga sering disebut sebagai gangguan mood adalah sekelompok penyakit psikiatri dimana gangguan suasana hati dianggap fitur utama yang mendasarinya. Gangguan mood diantaranya adalah gangguan depresi dan gangguan bipolar adalah sindrom yang sangat lazim. Orang yang mengalami gangguan depresi dengan percobaan bunuh diri, adalah orang yang mengalami suatu keadaan stress di dalam diri yang tidak mampu menerima kondisi lingkungan eksterna mereka dan memiliki mekanisme pembelaan ego yang tidak matang sehingga mereka melakukan hal tersebut.

Patofisiologi

Tiga neurotransmitter dasar pada patofisiologi gangguan mood adalah norepinephrine, dopamine dan serotonine atau sering dinamakan system neurotransmitter monoamine. Teori klasik mengenai etiologi biologi dalam hipotesis depresis adalah karena defisiensi neurotransmiter monoamine. Mania, kebalikannya, karena kelebihan monoamine neurotransmiter. Dasar-dasar neurobiology depresi mungkin terkait dengan gen tertentu yang berkaitan dengan kerentanan seseorang terhadap respon stress.

Karakteristik depresi seperti penurunan minat dan penurunan suasana hati, penurunan nafsu makan serta libido, anhedon dipengaruhi oleh disfungsi sirkuit saraf yang melibatkan thalamus, hipothalamus, nukleusakumbens, anteriorcingulate, dan prefrontal cortex.

Masalah pemicu utama penyebab depresi biasanya mengenai persoalan hidup, termasuk kematian orang lain yang dekat, masalah dalam perkawinan, pekerjaan, atau kesehatan fisik terbukti meningkatkan resiko episode depresi pada individu yang rentan.

Diagnosis

Berdasarkan PPDGJ-III, kriteria gejala utama depresi ada 3, yaitu afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan (anhedonia), dan berkurangnya energi yang mengakibatkan mudah lelah (anenergy). Gejala tersebut harus ada baik pada kriteria depresi ringan, sedang maupun berat. Untuk episode depresif sekurang-kurangnya berlangsung selama 2 minggu. Gejala lainnya bisa penurunan konsentrasi, penurunan harga diri, rasa bersalah, pesimistik, gagasan membahayakan diri, gangguan tidur dan nafsu makan.

Untuk episode depresif ringan, harus ada 2 dari 3 gejala utama ditambah minimal 2 dari gejala penyerta. Sedangkan untuk depresif sedang, minimal 2 dari 3 gejala utama, ditambah minimal 3 gejala lainnya disertai mengalami kesulitan nyata untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Pada depresi berat ketiga gejala utama harus ada, sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, pasien tidak mampu meneruskan kegiatan sehari-hari kecuali pada taraf terbatas. Pada pemeriksaan wawancara, dilakukan alat bantu kuisioner berupa HAM-D (Hamilton Depression Rating Scale).

Tatalaksana

Manajemen medis dari gangguan depresi berat mencakup farmakoterapi dan psikoterapi. Psikoterapi yaitu berupa Cognitive Behaviour Therapy (CBT) dianggap sebagai gold standar. Kombinasi keduanya akan bermanfaat untuk mempercepat onset depresi. Selaini itu ECT (Electro convulsion therapy) bisa digunakan untuk mengobati depresi dengan gejala negatif yang berlebihan, dengan mekanisme mengaktifkan impuls transduksi yang mengirimkan neurotransmitter dalam jumlah lebih besar ke region otak.

Gejala fisikal yang menimbulkan rasa sakit dimediasi oleh norepinephrine dan sedikit serotonin (5HT), maka dari itu di terapi menggunakan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRIs) atau a2delta ligands (pregabalin, gabapentin). Anxietas atau kecemasan berhubungan dengan 5HT dan asam gama-aminobutirat (GABA); dapat di terapi menggunakan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRIs), SNRIs atau Monoamineoxidase inhibitor (MAOIs) sebagai monotherapi, maupun dikombinasi dengan benzodiazepine, a2 antagonis atau atypical antipsikotik.

Kesimpulan

Berdasarkan PPDGJ-III, kriteria gejala utama depresi ada 3, yaitu afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan (anhedonia), dan berkurangnya energi yang mengakibatkan mudah lelah (anenergy). Gejala tersebut harus ada baik pada kriteria depresi ringan, sedang maupun berat. Untuk episode depresif sekurang-kurangnya berlangsung selama 2 minggu.

Manajemen medis dari gangguan depresi berat mencakup farmakoterapi dan psikoterapi. Psikoterapi yaitu berupa Cognitive Behaviour Therapy (CBT) dianggap sebagai gold standar. Kombinasi keduanya akan bermanfaat untuk mempercepat onset depresi. Selaini itu ECT (Electro convulsion therapy) bisa digunakan untuk mengobati depresi dengan gejala negatif yang berlebihan. Selain itu terapi farmakokinetik yang biasa digunakan adalah SSRI, SNRI, TCA, MAOIs, antidepresan atypical, bisa sebagai monotherapi maupun kombinasi bersama dengan obat golongan benzodiazepine, antidepresan atypical, stimulant ataupun antihistamine.

 

Daftar Pustaka

  1. APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Washington DC : American Psychiatric Association. pp: 160-161
  2. Ellenbroek, Bart; Youn, Jiun, 2016. Affective Disorders in Gene- Environment Interactions in Psychiatry, Nature, Nurture, Neuroscience.London : Elsevier Inc. pp:173-183
  3. Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course Psychiatry, 4th Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137
  4. Maramis,W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan kesembilan. Surabaya: Airlangga University Press
  5. Maslim, R. 2004. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III) Jakarta : FK JiwaUnikaAtmaja.
  6. Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4th edition. New York : Cambridge University Press. Pp:237-282

Gambar cover diambil dari sini.

Related Posts

Komentar